Undang-undang
nomor 6 tahun 2014 tentang desa ini diinisiasi oleh Kementerian Dalam Negeri
dan disusun oleh Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD),
Kementerian Dalam Negeri, yang merupakan lembaga pelaksana PNPM Perdesaan.
Peraturan yang telah disahkan dengan dukungan DPR ini telah mensinergikan
sejumlah prinsip Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM
Mandiri) termasuk perencanaan partisipatif desa, implementasi kegiatan berbasis
desa, kolaborasi antar-desa dan upaya meningkatkan mekanisme akuntabilitas.
Dengan disahkannya UU Desa ini, masyarakat diharapkan mengemban
tanggung jawab dan kendali atas urusan desanya, dalam upaya pemenuhan kebutuhan
pembangunan. Musyawarah tahunan masyarakat desa akan menjadi forum tertinggi
dalam pengambilan keputusan. Forum ini diadaptasi dari mekanisme akuntabilitas
dalam PNPM Perdesaan. Undang-undang ini mengukuhkan prinsip pemberdayaan dan
menjadi langkah pelembagaan PNPM.
Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang dan melelahkan,
selama 7 tahun lebih akhirnya pada sidang paripurna DPR RI, Rabu 18 Desember
2013 rancangan Undang-Undang Desa disetujui untuk disahkan menjadi
Undang-Undang Desa. Dengan disahkannya UU Desa ini ribuan Kepala Desa diseluruh
Indonesia menyambut dengan gegap gempita dan penuh dengan sukacita, kecuali
daerah Padang Sumatera Barat, pasalnya daerah ini menolak kehadiran
Undang-Undang tersebut, hhmmm.. knpa ya?
Mengapa Undang-Undang Desa yang disahkan oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada tanggal 15 Januari 2014 itu terasa begitu
istimewa? Tidak jarang berkali-kali Kepala Desa dari berbagai daerah
di Indonesia pergi dan berkumpul di Jakarta, untuk apa? yang jelas bukan untuk
menonton sepak bola… (heheh… J) melainkan untuk melakukan unjuk rasa menuntut
agar RUU Desa segera disahkan menjadi Undang-Undang. Emang apa sih istimewanya,
sampai mereka megitu gigih memperjuangan Undang-undang Desa tersebut? Mau tahu
jawabannya? Silahkah lanjutnya untuk membacanya.
1. Dana
Milyaran Rupiah akan masuk ke Desa
Ini bisa kita ketahui di pasal 72 ayat (1) mengenai sumber
pendapatan desa, dalam huruf d. disebutkan “alokasi dana desa yang merupakan
bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota”. Selanjutnya dalam
ayat (4) pasal yang sama disebutkan “Alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana
perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus”.
Isu yang marak dan berkembang di masyarakat adalah, bahwa dengan disahkannya Undang-Undang Desa maka tiap Desa akan mendapatkan kucuran dana dari pemerintah pusat melalui APBN lebih kurang 1 Milyar per tahun.
Isu yang marak dan berkembang di masyarakat adalah, bahwa dengan disahkannya Undang-Undang Desa maka tiap Desa akan mendapatkan kucuran dana dari pemerintah pusat melalui APBN lebih kurang 1 Milyar per tahun.
Menurut Priyo Budi Santoso wakil ketua DPRRI, UU Desa juga
mengatur tentang alokasi dana dari pemerintah pusat. “Selama ini kan tidak
pernah ada anggaran dari pusat. Jumlahnya sebesar 10 persen dari dana per
daerah, wajib diberikan, nggak boleh dicuil sedikitpun. Kira-kira sekitar Rp700
juta untuk tiap desa per tahunnya,” ujar dia.
Sementara itu Wakil Ketua Pansus RUU Desa, Budiman Sudjatmiko,
menyatakan jumlah 10 persen dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota
dalam anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana
Alokasi Khusus harus diberikan ke Desa. “Sepuluh persen bukan diambil dari dana
transfer daerah,” kata Budiman. Artinya, kata Budiman, dana sekitar Rp104,6
triliun ini dibagi sekitar 72.000 desa. Sehingga total Rp1,4 miliar per tahun
per desa.
“Tetapi akan disesuaikan geografis, jumlah penduduk, jumlah
kemiskinan,” ujarnya.
Dana itu, kata Budiman, diajukan desa melalui Badan
Pemusyawaratan Desa (BPD) yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa
berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.
BPD merupakan badan permusyawaratan di tingkat desa yang turut
membahas dan menyepakati berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintah
Desa. “Mereka bersidang minimal setahun sekali,” ujar Budiman.
2. Penghasilan
Kepala Desa
Selain Dana Milyaran Rupiah, keistimewaan berikutnya adalah
menyangkut penghasilan tetap Kepala Desa. Menurut Pasal 66 Kepala Desa atau
yang disebut lain (Kuwu) memperoleh gaji dan penghasilan tetap setiap bulan.
Penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa bersumber dari dana
perimbangan dalam APBN yang diterima oleh kabupaten/kota ditetapkan oleh APBD.
Selain penghasilan tetap yang dimaksud, Kepala Desa dan Perangkat Desa juga
memperoleh jaminan kesehatan dan penerimaan lainya yang sah. oke bangeeet….
hehehe…
3. Kewenangan
Kepala Desa
Selain dua hal sebagaimana tersebut diatas, dalam UU Desa
tersebut akan ada pembagian kewenangan tambahan dari pemerintah daerah yang
merupakan kewenangan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yaitu adanya
peluang desa untuk mengatur penerimaan yang merupakan pendapatan desa yaitu
sebagaimana diatur dalam Pasal 72 UU Desa. Hal ini ditegaskan oleh Bachruddin
Nasori, Anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Desa (Panja RUU Desa).
“Jika selama ini, Kepala desa menjadi pesuruh camat,
bupati. Tapi hari ini jadi raja dan penentu sendiri, jadi Kepala Desa yang
berkuasa penuh mengatur dan membangun desanya,” kata Bachruddin Nasori.
Apakah dengan demikian
Kepala Desa akan menjadi Raja-raja kecil ?
Walaupun dengan Undang-Undang Desa ini Kepala Desa mempunyai
kewenangan penuh dalam mengatur dan mengelola keuangan sendiri tetapi seorang
Kepala Desa tidak boleh menjadi Raja Kecil. Mantan Ketua Pansus Rancangan
Undang-Undang Desa DPR RI, Budiman Sujatmiko, pada acara sosialisasi UU Desa
untuk 253 kepala desa di Kabupaten Subang, Sabtu (11/1/ 2014), menegaskan
“Saudara kelak tidak boleh jadi raja-raja kecil di desa,” ujar Budiman yang
disambut aplous seluruh kepala desa yang hadir.
Dikatakan Budiman, kewenangan dan alokasi dana yang besar yang
diamanatkan UU Desa itu, tidak ada satu pasal pun yang
mengisyaratkan monopoli kebijakan Kepala Desa. Bahkan, lanjut
Budiman, Kepala Desa akan memikul tanggung jawab yang lebih besar untuk
mempertanggungjawabkan semua kewenangan dan pengelolaan dana yang akan
dilakukannya kelak.
4. Masa
Jabatan Kepala Desa bertambah
Dengan Undang-Undang Desa yang baru masa jabatan Kepala Desa
adalah 6 tahun dan dapat dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa
jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut (pasal 39).
Demikian juga dengan masa jabatan Badan Permusyawaratan Desa, mereka bisa
menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan, baik secara berturut turut
maupun tidak berturut-turut. Hal Ini berbeda dengan Undang-Undang yang berlaku
sebelumnya yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004 dimana Kepala Desa dan BPD hanya bisa
menjabat paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan.
5. Penguatan
Fungsi Badan Permusyawaratan Desa.
Menurut pasal 55 UU Desa yang baru, Badan Permusyawaratan Desa
mempunyai fungsi:
§
membahas dan menyepakati
Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;
§
menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat Desa; dan
§
melakukan pengawasan
kinerja Kepala Desa.
Disini ada penambahan fungsi BPD yaitu pada huruf c yaitu
melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004,dimana dalam pasal 209 disebutkan Badan Permusyawaratan
Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat.
Tantangan dan Tanggung
Jawab
Banyak kalangan meragukan keefektifan Undang-Undang ini.
Keraguan mereka terutama pada kekhawatiran akan pengelolaan dana yang begitu
besar. Jangan-jangan dana ini akan menjadi bancaan bagi Desa yang menerimanya.
Menanggapi hal ini Budiman Sudjatmiko mengatakan, “Bancakan dana desa ini, bisa
dihindari karena dana ada di kabupaten. Sementara penyusunan proposal pengajuan
anggaran ini, tidak berjalan sendiri. Ada pemerintah kota dan pemerintah
kabupaten yang melakukan pendampingan, termasuk penyusunan budgeting”.
Selain itu, menurut Priyo Budi Santoso, UU ini juga diharuskan
membentuk semacam DPR tingkat desa, namanya Badan Permusyawaratan Desa.
Anggotanya sekitar sembilan orang. “UU ini tidak memangkas kewenangan Bupati
atau Walikota atau Gubernur pada kepala desa,” kata dia.
Tanggapan Pemerintah
Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, meminta masyarakat tidak
khawatir dengan potensi penyimpangan dana triliunan rupiah ini sebab setiap
tahun akan dilakukan pengawasan sistem. Pemerintah, kata dia, akan melakukan
pengawasan dalam penetapan anggaran, evaluasi anggaran dan pertanggungjawaban
anggaran. Selain itu, kata dia, ada juga audit dari Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) untuk memeriksa semua penyelenggara anggaran itu setiap akhir tahun.
“Kalau BPK merekomendasi ada yang bersifat administratif, tentu
harus diselesaikan secara administratif. Kalau ada temuan yang indikasi
bersifat pidana dan merugikan negara, bisa saja BPK melanjutkan kepada aparat
penegak hukum,” ujarnya.
Tak hanya itu, kata Gamawan, pemerintah juga akan segera
merumuskan Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengatur mekanisme
pertanggungjawaban, pendistribusian uang, pengawasan dan mekanisme pencairan
dana.
Sementara, kata Gamawan, untuk pengoptimalisasian program
pemerintah ke desa, akan ada sedikit perubahan desain. Saat ini ada beberapa
kementerian dan lembaga yang langsung punya program di desa. Nantinya semua
dana-dana itu akan disatukan.
“Itu nanti yang kemudian diserahkan kepada desa. Nanti langsung
diturunkan kepada kabupaten, kemudian kabupaten yang mendistribusikan ke desa
berdasarkan kriteria yang sudah kita tetapkan,” ujar Gamawan. Kriteria itu,
kata Gamawan, misalnya berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, letak
kesulitan geografis, tingkat kemiskinan dan beberapa variabel lainnya.
Dana itu, kata Gamawan, akan diambil pada APBN 2015. Sebab, dana
APBN 2014 ini sudah disahkan peruntukannya. “Kami sepakat segera
(didistribusikan), makanya kami segera bentuk tim. Setelah selesai PP, nanti
alokasi daerah bisa saja tahun pertama 75 persen dan tahun kedua 25 persen.
Karena kami sudah komitmen,” ujarnya.
Sementara menunggu APBN 2015, dana untuk desa ini diambil dari
Alokasi Dana Daerah. “ADD tetap berjalan. Program yang sudah diputuskan 2014
itu tetap jalan,” katanya.
Sementara di kantornya, Rabu 18 Desember 2013 pagi sebelum RUU
disahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta seluruh otoritas
terkait khususnya di tingkat wali kota dan bupati yang mengatur keuangan desa,
menggunakan anggaran tersebut dengan baik. “Hari ini secara khusus saya meminta
perhatian kabupaten dan kota, para bupati dan para wali kota, tentunya para
gubernur untuk memastikan bahwa anggaran itu betul-betul disalurkan dan juga
digunakan dengan baik,” ujarnya.
Kepala Desa Harus belajar
Pembukuan / Accounting
Anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Desa (Panja RUU
Desa) Bachruddin Nasori menyatakan dengan ditetapkannya RUU Desa menjadi UU,
maka Kepala Desa harus belajar pembukuan (accounting). Sebab, dengan UU Desa
yang baru disahkan hari ini oleh DPR RI, dana sebesar 10 persen dari APBN akan
masuk langsung ke desa.
“Dengan disahkan UU Desa, Kepala Desa harus belajar accounting
karena kepala desa nanti akan menjadi pejabat pembuat komitmen. Jangan sampai
kepala desa masuk penjara karena ketidakmengertiannya dalam mengelola
keuangan,” kata Bachruddin usai rapat paripurna pengesahan RUU Desa di Gedung
DPR RI, Jakarta, Rabu.
“Selama ini tidak pernah terpikirkan adalah APBN tidak pernah
masuk desa. Selama ini kementerian-kementerian menjadikan desa sebagai objek
dari proyek yang hasilnya diambil pusat,” kata Bendahara Umum PKB itu.
Alokasi dana ini diharapkan dapat mengakselerasi pembangunan di
tingkat desa. Sebelum-sebelumnya, alokasi dana dari APBN belum menyentuh sampai
ke tingkat desa.
Disamping itu, dengan UU Desa ini, nantinya kepala desa dapat
mengambil kebijakan—secara mandiri—dalam mengelola potensi dan pembangunan
desanya, tanpa didikte oleh kepala daerah atau pemerintah pusat seperti yang
berlangsung selama ini.
Namun demikian, menurut Bacharuddin, dana sebesar itu (Rp 1
Miliar/tahun) mesti ada pertanggungjawabannya secara administratif. Oleh sebab
itu setiap kepala desa wajib menguasai akuntansi atau minimal pembukuan, agar
pemakaian dana tersebut bisa dipertanggungjawabkan.
Jika dari sisi data akuntansi tidak valid dikhawatirkan akan
banyak kepala desa yang tersandung kasus korupsi.
“Jangan sampai kepala desa masuk penjara karena
ketidakmengertiannya dalam mengelola keuangan,” imbuh Bachruddin.
Melihat banyaknya pejabat kepala daerah yang terjerat kasus
korupsi, bukan tak mungkin jika ladang korupsi itu akan pindah ke Kantor-Kantor
Kepala Desa, setelah diberlakukannya UU Desa yang baru ini nantinya.
Oleh sebab itu, pihaknya menghimbau agar para Kepala Desa
beserta perangkatnya mulai sekarang belajar Accounting.
Kepala BPK RI Perwakilan Jawa Barat, Kornel Syarif
Prawiradiningrat, mengingatkan agar para kepala desa yang akan segera
mendapatkan dan miliaran itu bersikap ektra hati-hati.
“Jangan sampai setelah menerima duit miliaran rupiah lalu
beberapa bulan kemudian berurusan dengan penegak hulum,” ujar Kornel. Ia
mencontohkan, era otonomi daerah gara-gara salah urus soal keuangan telah
menyeret 525 bupati dan walikota berurusan dengan hukum.
Lalu, ia memberikan solusi jitu agar para kepala desa lepas dari
jeratan hukum. “Buat pembukuan yang baik, akuntabel dan transfaran,” Kornel
menjelaskan.
Pembukuan yang baik yakni mencatat semua penerimaan dan
pengeluaran dengan detil. Misalnya, setiap pembelian barang harus ada
kuitansinya, barang yang dibeli harus sesuai peruntukannya.
“Tidak boleh ada yang disembunyikan dan dimainkan, semua
bukti-bukti dicatat secara benar dan lengkap,” jelas Kornel.
Penutup
Dari sekian banyak Undang-Undang yang mengatur tentang Desa
sejak Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 memang Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun
2014 adalah yang terbaik. Desa sebagai ujung tombak pemerintahan terbawah
memiliki otonomi dalam mengatur pembangunan untuk mensejahterakan rakyatnya.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya harus diawasi agar tidak terjadi penyimpangan
dan penyalahgunaan wewenang. Badan Permusyawaratan Desa sebagai unsur
pemerintahan Desa harus bisa menjalankan tugas dan fungsinya sesuai amanat
Undang-Undang agar Kepala Desa tidak terjebak dalam jeratan hokum. Masyarakat
Desa diharapkan juga ikut mengawasi dan mengambil peran aktif melalui
musyawarah desa agar pelaksanaan pembangunan bisa benar-benar efektif dan tepat
sasaran serta dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Sumber:
fokus.news.viva.co.id/
antaranews.com/
jurnalakuntansikeuangan.com/